Catatan Bersama Remy Sylado (1)

oleh -100 views

Tiba-tiba Remy Sylado Menghilang….

 

Siang hari, bulan mendekat ke akhir tahun 2019. Budayawan serba bisa Remy Sylado berbaring di tempat tidur di ruang tamu rumahnya di Darmaga, Bogor, Jawa Barat.

Di depannya, kami, saya dan beberapa sobat mantan penyiar Radio Arief Rachman Hakim (ARH), ditambah dua beberapa wartawan kebudayaan, mengerumumninya.

Ada yang duduk dan ada yang berdiri. Hari itu kami mem-bezoek Sang maestro yang baru menjalani proses penyembuhan dari penyakit yang menyerangnya. Para penjengguknya boleh dibilang semuanya “fans” dan pengagum Remy.

Oleh sebab itu, selain menanyakan perkembangan penyakitnya, dan memberikan dukungan agar cepat sembuh.

Para sobat yang baru pertama kali mengunjungi dan bertemu langsung Remy Sylado di rumahnya itu, tak menyia-nyiakan minta befoto dengan Remy dan beberapa bagian rumah Remy, terutama kamar kerjanya.

Bahkan ada duduk di tempat duduk ruang kerja Remy dan minta di foto disana.

“Saya harus foto disini, karena inilah tempat penulis hebat berkarya,” kata salah seorang wartawan kebudayaan yang ikut dengan riang gembira.

Remy tersenyum-senyum menyaksikan “kelakuan” kawan-kawan dari tempat perbaringannya.

Hari itu kami sempat makan siang di rumah manusia langka ini dengan lauk yang sebagian dibawa oleh kawan-kawan yang datang karena memang sudah merencanakan makan di sana.

Kami makan sengaja memakai piring plastik agar sekali pakai buang.  Kami faham Remy tak memiliki pembantu rumah tangga sehingga tidak boleh merepotkan tuan rumah, untuk urusan mencuci piring segala.

Kepada kami Remy menceritakan, kondisinya sudah membaik, tetapi kalau berjalan masih sering pusing dan rada goyah, sehingga perlu banyak berlatih.

Mendapat kunjungan dari para sahabatnya Remy nampak sumeringah. Wajahnya kelihatan berseri dan matanya mulai bersinar pertanda muncul gairah kesehatan.

Sebelum kami pulang, saya sempat bilang kepadanya, “Jangan lupa makan biar banyak, Bung Remy!”

Dia cuma menangguk tersenyum saja. “Kalau mau makan apa-apa bilang aja ke saya, nanti saya usahakan kirim,” tandas saya lagi, supaya dia faham saya tidak basa-basi.

Tunggu punya tunggu, Remy tidak juga mengabarkan mau makan makanan tertentu.

Maka sebaliknya sekitar sebulan setelah kedatangan kami itu, saya bersama rombongan mantan wartawan Radio ARH dan Bengkel Belia Teater ARH, justru datang lagi ke Bogor.

Kali ini kami mengajak Bung Remy makan bersama. Waktu itu ada Arthur John Horoni, sahabat Remy. Ada juga Moenir, ketua Bengkel Belia ARH. Ada pula Untung mantan operator dan penyiar ARH, dan ada Umar Siregar, anggota Bengkel Belia.

Hari itu kami memilih makan Botani Squere, di tengah kota Bogor, tidak jauh dari terminal bis lama Baranangsiang. Kalau dari tol Jagorawi keluar di pintu Bogor lantas ke arah kanan beberapa menit sudah sampai di Botani Squere.

Kami memilih makan di sebuah restoran Jepang yang menunya pilih dan ambil sendiri. Letaknya di pojokan di lantai 3. Remy ikut mengantri untuk memilih menu.

Pada acara itu Remy tampil sangat santai. Dia cuma memakai celana pendek dan sandal jepit. Seperti biasa selama makan siang bersama Remy bercerita banyak hal, termasuk berbagai humor yang membuat kami terpingkal-pingkal.

Selain pengetahuan kebudayaan yang begitu luas, rupanya stok cerita humor Remy, baik yang fiktif maupun yang “true story” sedemikian banyak.

Bersama kami, lantas sesudah makan, dia ikut berjalan-jalan di Botani. Beberapa kali Remy jalan paling depan atau malah paking belakang, karena sering melihat-lihat barang atau suasana.

Nah, manakala keluar restoran dan menuju pulang, tapi masih di Botani Squere, kami sempat kelimpungan.

Remy Sylado tiba-tiba hilang. Di depan belakang tak kelihatan.Karuannya saja kami kecut dan khawatir. Soalnya, Remy belum seratus persen pulih benar.

Untuk mencarinya kami sepakat untuk menyebar dan masing-masing ikut mencari. Setiap lantai sudah kami telusuri. Namun lebih dari 45 menit belum ketemu juga.

Waduh, bagaimana ini?

Kalau terjadi sesuatu pada dirinya bagaimana “pertanggung jawaban” kami, terutama saya pribadi, lantaran sayalah inisiator makan bareng dari saya.

Nah, ketika kami sudah berkunpul bareng lagi suatu sudut di Botani itu, dan sudah sekitar satu menunggundan nyaris putus asa, tiba-tiba dengan santai Remy muncul. Kami semua lega.

“Darimana Bung Remy?” tanya kami berbarengan seperti ada konduktor yang mengatur.

“Ini beli sweeter,” katanya seraya menunjuk sweter merah yang dikenakannya. Dia mencerita dirinya merasa badannya agak kedinginan, sehingga memerlukan membeli sweter lengan panjang di toko yang berada di tengah dalam. Walah…

“Lain kali Bung Remy perlu apa-apa, tinggal ngomong aja ke kami, biar kami yang nanti mencarikannya.,” ujarnya saya.”Tuh, Bung Untung dan Umar siap blusukan nyariin sampai dapat!” tambah tambah saya.

Remy cuma tertawa kecil.

Kami pun berjalan bersama lama menuju basemen tempat parkir mobil. Tetapi sebelum sampai sana, dia melihat ada dua mahasiswi yang sedang duduk di bangku yang ada di seputar mall. Remy minta kami berfoto bersama kedua mahasiswi itu.

“Kamu kenal gak ini siapa?” tanya saya kepada kedua mahasiswi itu sambil menunjuk ke Remy. Keduanya yang kami datangi tiba-tiba , cuma melonggo.

Mereka menantap Remy sebentar, tapi tidak mengeluarkan sepatah katapun sampai kami sudah berfoto bersama mereka dan meninggalkannya.

Kami benar-benar berpisah dengan Remy di basement. Kami kembali ke Jakarta dan Remy balik ke rumahnya di Darmaga. Sebelum berpisah kembali saya ingatkan, kalau mau makan apa saja jangan sungkan ngomong ke saya.

Nanti saya sedapat mungkin bakal saya carikan. Saya tahu Remy gembul makanan enak.

Apalagi menurut orang Sunda, ketika orng mulai membaik setelah sakit, mengalami “mamayu,” yang artinya justeru baru mulai mau makan banyak sesudad sembuh sakit….

Bersambung…..

WINA ARMADA SUKARDI, Wartawan senior, kritikus film, penyair, anggota Dewan Pers dua priode dan advokad.