Hutang yang Belum Saya Bayar….
Sekitar dua bulan kemudian, masih terhitung awal tahun 2020, saya datang kembali ke rumah Remy. Kali ini bersama beberapa rekan Radio ARH dan bersama beberapa wartawan kebudayaan.
Beberapa hari sebelum berangkat, saya kembali menanyakan Remy nanti mau dibawakan makan apa.
Kali ini dia langsung menjawab, kalau boleh dibawakan suatu makanan Menado. Dia menyebut namanya dan saya catat di HP. (Tapi sekarang saya lupa namanya).
“Ya, sudah gampang itu, nanti pasti saya bawaiin,” kata saya “sok “ yakin.
Saya pun “survei” dimana rumah makan yang menjual makanan Menado yang disebut Remy dapat saya beli.
Rupanya saya salah sangka. Saya pikir, makanan itu mudah diperoleh. Nyatanya, sulitnya juga mencarinya. Mungkin, karena sulit memperolehnya Remy sampai mau meminta ke saya.
Sudah banyak rumah makan Menado di Jakarta yang saya hubungi, semua menjawab: tak menjual makanan yang diinginkan Remy itu.
Saya kecut juga. Sudah janji, masak tidak dapat, padahal sebelumnya saya “sok” tahu mengatakan “gampanglah itu.”
Maka, saya pun lantas menelusuri satu per satu hampir semua rumah makan Menado di Jakarta.
Beruntung saya, sebuah rumah makan Menado terkenal, Beutika, yang terletak di ujung jalan Hangleukir, Kebayoran Baru, tepat di depan kampus Moestopo, menjual makanan yang dipesan Remy.
Plong hati. Saya langsung pesan untuk hari itu. Dan, saya bawa ke rumah Remy di Bogor.
Dan betul juga, manakala saya sampai di rumahnya, rupanya Remy sudah menanti makanan itu. “Kau bawa makanan pesanan saya?” tanya Remy begitu saya tiba di rumahnya.
“Ya dong, Bung ,” jawab saya seraya menyerahkan plastik yang berisi boks makanan yang diinginkan Remy.
Saya terbiasa memanggil “Bung,” kepada sebagian besar orang karena tradisi di Radio ARH yang mengajarkan demokrasi kepada kami, termasuk dalam memanggil orang lain, bahkan untuk yang lebih tua atau mereka yang memikiki jabatan dan kekayaan tinggi.
Saya sendiri pun sering dipanggil oleh kawan-kawan dengan istilah “Bung.”
Tanpa basa-basi Remy membuka makanan itu dan langsung melahapnya seketika. Kami tertawa-tawa melihatnya. Senang rasanya melihat manusia yang langka itu dapat makan lahap lagi.
Lantaran hubungan kami dengan Remy sudah dekat, Remy jarang berbasa-basi lagi dengan kami. Kendati setelah masuk usia senja, kami melihat lagenda hidup ini sudah jauh lebih kalem.
Meskipun hubungan pribadi saya dengan Remy sudah berjalan panjang, tetapi sebenarnya, intensitas hubungan saya dengannya boleh jadi tidak seintens hubungan Remy dengan beberapa sobat lain yang dulu pernah day by day bersama Remy.
Saat nama Remy sudah “menjulang,” saya masih SMP dan SMA. Waktu Remy berkibar dengan majalah Aktuil-nya, saya malah masih menjadi pengemar dan pengagumnya yang belum pernah berjumpa dengan Remy.
Saya juga masa baru mulai menulis untuk pers. Belakangan saya lebih dahulu bertemu dengan Robani Bawi, orang majalah Aktuil yang sangat rendah hati dan bijak, yakni tatkala saya dan Robani bersama berada di Kartini Group.
Robani salah satu orang yang sangat dengan Remy dalam urusan pers. Saya baru “bersentuhan” dengan Remy Sylado ketika saya menjadi “anak bawang” di Radio ARH.
Kala itu Radio ARH terkenal dengan ulasan-ulasan musik dan kebudayaannya. Nama Arthur John Horoni, Zainal Suryokusumo (Bung Daktur) dan Akbar alias Fahri Muhamad zaman itu beken di kalangan musikus.
Radio ARH sepenuhnya mendukung pemusik yang tidak sekedar jadi peraga tetapi juga sosok yang original dan pemikir.
Radio ARH-lah yang pertama menampilkan para pemusik hebat seperti Gombloh, Embiet G Ade, Mugi Darusman (almarhum), Leo Kristi, dan Franki Sahilatua dalam satu panggung di JCC.
Waktu itu, penyanyi Vina Panduwinata saja baru pulang dari Jerman dan sama sekali belum dikenal. Tapi, ARH sudah melihat bakatnya yang besar dan kemungkinan berkembang.
Karena itu ARH berani menampilkannya, untuk tampil sebagai penyanyi, meski baru sebagai artis tamu pelengkap. Belakangan Vina menjadi penyanyi terkenal.
Pemusik-pemusik otentik sering diskusi dan diwawancarai Radio ARH, termasuk tentu saja Remy Sylado. Dari sana sedikit demi sedikit saya mulai berinteraksi dengan Remy.
Itu pun masih dalam skala yang terbatas. Waktu Radio ARH menyelenggarakan lomba penulisan puisi pada tahun 1977, dan karya -karya pilihan di lomba itu dibukukan dalam antologi “Puisi Tempe” serta dijadikan bahan puisi untuk Lomba banyak puisi ARH, Remy salah satu jurinya.
Kebetulan, puisi saya nangkring di nomer 4, di bawah Machwardi Muchthar, Eka Budianta dan Heryus Saputra. Sementara nama-nama beken sekarang, seperti Emha Ainun Nadjib dan lain-lainnya, tidak dapat nomer.
Kemudian empat karya puisi ini dimuat di majalah Horizon, karena salah satu Dewan Juri puisinya Mochtar Lubis.
Dan Mochtar Lubis, wartawan yang juga saya kagumi, melihat semangat anak muda yang berbeda dalam puisi-puisi karya kami dibandingkan para penyair muda saat itu, membuka jalan buat kami untuk “berkembang” dengan membuat karya kami di majalah Horizon yang saat itu masih sangat prestisius.
Sampai saat itu intensitas hubungan personal saya dengan Remy belum terlalu dalam. Kebetulan di Radio ARH, para seniman yang memiliki karakter kuat, dan rendah hati, senantiasa kami pandang sebagai “sekutu”
kami, dan kami selalu menyebut mereka sebagai “saudara kita.”
Itulah sebabnya, ketika pemusik Franki sakit dan diopname di Singapura, saya mau menyempatkan diri membezoek-nya.
Waktu itu bersama Sobat Ilham Bintang yang infotainmen Cek & Recek-nya waktu itu lebih “ditakuti” politikus dibanding majalah berita atau media yang serius.
Dari “lingkaran saudara kita” itulah Remy yang juga termasuk “saudara kita” lebih dalam berinteraksi dengan para pengelola dan pendukung Radio ARH, termasuk dengan saya.
Darisana pulalah kemudian, saya mulai lebih sering berhubungan dengan Remy Sylado. Sewaktu Remy masih tinggal di Bandung dan datang ke Jakarta, hampir selalu kami bersua.
Begitu pula waktu Remy tinggal di rumahnya di Cipinang, beberapa kali kami bertamu kepadanya.
Terakhir ketika Remy tinggal sekitar lima tahun di rumahnya di Bogor, kami juga sering mengunjunginya.
Selama ini Remy memang memikiki tiga rumah: di Bandung, Jakarta dan Bogor. Tentu selain di rumahnya kami juga berinteraksi dalam banyak acara atau peristiwa.
Dalam tiga tahun terakhir saya selalu meminta Remy menjadi salah satu Dewan Juri dari lomba-loba penulisan film, termasuk kritik film.
Di lomba-lomba ini ada nama-nama wartawan film Yan Widjaya, Ilham Bintang, Bre Redana, Masmimar Manggiang (almarhum), Benny Benke, Shandy Gasaly dan para sineas seperti Norman Hakim, Lola Amaria. John de Rantau dan lainnya.
Selama tiga tahun itu kami selalu menjadi juri dengan bertukar-tukar posisi saja.
Dari lomba ini terkuak betapa begitu banyak penulis “kritik film” atau bahkan “repotase film” bukan saja tidak faham bahasa film, tetapi bahasa Indonesianya sendiri saja buruk nian.
Oleh sebab itu ketika pada tahun ketiga (pada saat penjurian mau dimulai) ada wartawan yang bertanya bagaimana menurut Remy kualitas peserta kritik film, dengan tanpa tendeng aling-aling Remy menandaskan,”Saya tidak dapat pelajaran apapun dari tulisan kritik film para peserta!”
Pernyataan Remy ini kemudian dikutip banyak media. Begitulah Remy. Dia seorang yang selalu bicara jujur, apa adanya.
Kenyataannya memang pada dua tahun pertama kualitas tulisan peserta lomba begitu amburadul. Baik subtansi maupun penggunaan bahasa-nya kacau balau.
Tak heran Bre Redana sampai mengatakan,” Kalau dilihat dari aspek bahasa-nya saja, cuma beberapa peserta yang layak dinilai!”
Pada tahun ketiga dari lomba itu sesungguhnya ada sedikit perkembangan, mutu tulisan membaik, walau masih jauh dari memadai.
Saya sebagai ketua panitia pelaksana sama sekali tak ada keberatan apapun terhadap penjelasan Remy. Selain statement-nya benar, saya pun mahfum seorang Remy tak mungkin berbasa-basi, termasuk kepada orang dekatnya sekaligus.
Maka saya tidak heran, sewaktu melihat saya memakai baju bermotif berita koran, Remy bertanya,”Dari
mana kau dapat baju itu?”
Sebagai orang yang lebih muda kepada “saudara kita,” saya menempati diri sebagai orang yang siap untuk setiap saat memberikan yang terbaik, biarpun jika terdapat perbedaan. “Kalau Bung Remy mau yang seperti ini, akan cariin,” ujar saya balik bertanya.
“Bolehlah,” jawabnya.
Saya membeli baju itu di FX di Senayan. Waktu saya beli baju itu beberapa bulan sebelumnya, kepada penjaga tokonya saya tanya, kalau saya mau membeli lagi baju seperti ini apakah masih ada dan mudah mendapatnya? Si penjaga toko dengan menyakinkan menjawab, banyak!
Makanya saya berani menawarkan kepada Remy. Tetapi ketika saya datang lagi ke toko itu, baju yang sejenis sudah habis. Katanya, akan datang lagi, dan nanti saya akan dikabarin.
Tapi tunggu punya tunggu, tak ada kabarnya. Beberapa kali langsung tokonya saya datangi lagi, buat. menanyakan baju itu, tapi selalu barangnya belum datang juga.
Terakhir, waktu saya datang ke sana, menurut penjaga tokonya, baju tersebut sudah ditarik semua dan tidak ada stock lagi.
Waduh, itu berarti saya tidak memenuhi janji saya kepada Remy dan menjadi hutang saya kepada seniman besar itu…
Bersambung….