Catatan Bersama Remy Sylado (4)

oleh
Catatan Bersama Remy Sylado (4)

Aku
kau
generasi masa depan
yang bukan cuma melihat matahari
tapi
juga
mengambil matahari
dan membawa pulang ke rumah.

Itu karya puisi berjudul “Catatan” karya seniman besar Remy  Sylado pada tahun 1971, atau manakala dia masih berusia 26 tahun.

Dari puisi itu kita dapat menangkap, Remy seorang seniman yang lugas, terus terang, tapi punya visi jauh dan kuat.

Berbeda dengan banyak penyair yang menempatkan puisi sebagai sesuatu yang “sakral,” Remy Sylado menilai puisi cuma “alat ekspresi” yang dipakai untuk meningkatkan kemanusiaan manusia.

Maka puisi dapat “diletakan” dimana saja sesuai kebutuhan dan tujuan penyair.  Boleh diletakan di atas kepala sebagai mahkota, tetapi juga tidak dilarang diletakan di bawah telapak kaki.

Remy Sylado seorang budayawan yang serba ahli, mulai dari konsepsi sampai detail teknikal dalam berkebudayaan dan berkesenian.

Pria kelahiran sebulan sebelum Indonesia merdeka, 12 Juli 1945 di Makasar, ini benar-benar seorang maestro sejati.

Dia seniman luar biasa.

Dalam  Kebudayaan Indonesia, ditilik dari aspek apapun, kehebatan karya-karyanya, ruang lingkup penguasaan bidang kesenian, kemanpuan berbahasa asing, sampai jejaknya dalam sejarah kebudayaaan Indonesia.

Remy dapat kita tempatkan sebagai “legenda hidup.”

Hasil penelisikan saya tak ada satupun seniman yang memiliki karakteristik dan kemanpuan sehebat Remy Sylado.

Mau ditinjau dari sudut apa saja, tentang Remy pasti menghasilkan kesimpulan dia budayawan besar. Dalam kesusastraan, dia menghasilkan karya puisi, cerpen dan novel yang begitu banyak dan berkelas.

Juga mengandung “pembaharuan.” Remy bukan seorang yang cuma meniru. Bukan seorang epigon. Dia seorang pembaharu. Ada saja yang diperbaharui dalam sastra.

Puisi membling cuma salah satu dari pembaharuanya. Menghidupkan kosa kata bahasa Indonesia yang sudah jarang dipakai tapi memiliki arti kuat, menjadi kelebihan lain dari Remy.

Belum lagi tema-tema yang jarang atau tidak disentuh sastrawan lainnya juga manandai kelebihan Remy.

Dalam menulis karya, seringkali alur dan peristiwa sudah ada di kepalanya. Dia dapat menulis beberapa cerita sekaligus dalam hari yang sama tanpa tertukar tokoh, jalan cerita, latar belakang dan karakter-nya masing-masing.

Remy tentu sering menulis cerita bersambung di berbagai harian, baik koran nasional maupun daerah.

Seringkali lantaran karyanya menarik, walaupun belum selesai, redaksi sudah memintanya untuk dimuat.

“Waktu naskahnya sudah habis sedangkan ceritanya masih bersambung, saya punya pengalaman sampai menunggu dia menulis naskah cerita bersambung darinya untuk besoknya,” kata wartawan budaya Suara Merdeka, Jateng, Benny Benke, mengenang pengalamannya dulu.

Remy juga menghasilkan naskah-naskah teater sekaligus terlibat dalam arena teater. Akting Remy pun dapat dinikmati di layar lebar.

Di bidang musik tidak perlu lagi ditanya. Dialah “ensiklopedia musik berjalan.” Remy memiliki pengetahuan akar dan sejarah musik dari tradisional sampai klasik. Nasional maupun internasional.

Makanya dia faham benar mana-mana saja lagu yang diakui sebagai ciptaaan orang Indonesia namun sebenarnya hasil ciplakan alias hasil pencurian.  Dan lantawan zaman kiwari lebih telak pembuktiannya, Remy dapat langsung menunjukan lagu dan contohnya yang dijiplak.

Contoh yang masih hangat, ketika dalam bagian akhir film “Bumi Manusia” yang disutradarai Hanum dilantunkan lagu “Ibu Petiwi,” semua kritikus film faham lagu itu 100% lagu bajakan. Remy sudah lebih dahulu memberitahukannya.

Di bidang musik selain menjadi pemateri dan pengulas musik yang hampir tiada bandingnya, dia juga mengeluarkan beberapa album musik (masih dalam bentu kaset).

Tentu musiknya berbeda dengan musik kebanyakan. Lirik lagu-lagunya sangat khas, agak membeling, nyeleneh dan sebagian menohok.

Judulnya saja sudah lain. Misalnya, “Pacarnya Mati Disengat Tawon,” “Istriku Dibawa Lari Monyet,” “Ayah Arab Ibu Tiongkhoa Dia Batak,” untuk menyebut beberapa contoh judul-judul lagunya.

Kemampuan berbahasa jangan ditanya lagi.

Sebut saja bahasa Ibrani dan Yunani. Atau bahasa Arab dan bahasa China (Mandarin). Jangan lagi bahasa-bahasa internasional yang umum, seperti bahasa Ingris, Perancis, Spanyol, Jerman dan Belanda.

Remy bukan hanya fasih berbicara bahasa-bahasa tersebut lengkap dengan aksen-aksen-nya sekaligus, tapi Remy juga dapat menulisnya dengan baik.

Tak hanya itu , akar kata atau kalimat-kalimat bahasa asing itu dikuasai dengan mahir. Misal Remy pernah menerangkan kepada saya bagaimana dalam bahasa Arab kalimat “seru sekalian alam “ terbentuknya.

Ini tak mengherankan, sebab dia sudah katan Al Quran ketika usia 14 tahun. Remy dapat menulis indah dalam bahasa Arab. Juga dalam bahasa Mandarin.

Hebatnya lagi dia sama menguasainya menulis dari kiri kenan maupun dari kanan ke kiri.

Untuk bahasa daerah, mungkin Remy salah satu orang Indonesia yang paling dapat dan menguasai berbahasa daerah terbanyak lengkap dengan aksennya.

Dia dapat, faham dan mengetahui seluk beluk bahasa daerah: mulai dari Jawab Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Solo, Jogya, Menado, Makasar, Ambon dan sebagainya.

Remy dapat berbicara dengan orang Indoensia dari daerah mana saja dengan logat khas dari daerah itu. Luar biasa.

Penguasaan sejarah sosial kebudayaan Indonesia bukan alang kepalang lagi.

Satu persatu aspek-aspek budaya dari berbagai suku di Indonesia dapat diterangkan dengan luar kepala.

Dia sendiri kalau menulis sebuah buku yang memerlukan penelitian, tak segan-segan melakukan riset.

Lantaran kemampuan berbahasanya luar biasa dia sering memperoleh informasi baru yang akurat. Walhasil tulisannya menjadi kaya data dan berdasarkan fakta yang tepat.

Apalagi yang kurang dari Remy Sylado?

Bersambung…..

 

WINA ARMADA SUKARDI, Wartawan senior, kritikus film, penyair, anggota Dewan Pers dua periode dan advokad.