[ad_1]
Program vaksinasi di berbagai negara sekarang berkembang cepat. Amerika mencatat rekor Jumat lalu dengan lebih dari empat juta orang divaksinasi dalam satu hari. Seiring dengan hal itu pemahaman tentang bagaimana perilaku kita pasca vaksinasi menjadi sangat penting, supaya tujuan program vaksinasi: terwujudnya kekebalan kelompok, tercapai.
Harun al-Jafar adalah diaspora Indonesia di Los Angeles. Ketika program vaksinasi baru dimulai di Amerika, meskipun dia masuk kategori usia yang diprioritaskan, tidak mudah baginya memperoleh perjanjian vaksinasi.
“Saya coba apply. Websitenya memang gampang, tapi coba apply di berbagai site, sampe coba mundur-mundur bulan Februari, bulan April, nggak ada slot yang tersedia. Saya pikir mungkin saya yang gaptek, terus saya minta tolong anak saya, dia coba beberapa site, ah, (hasilnya) sama saja.”
Akhirnya berkat pertolongan seorang dokter kenalannya, al-Jafar berhasil memperoleh perjanjian vaksinasi di sebuah stadion di LA.
Kini, program vaksinasi COVID 19 sudah berjalan lancar di seluruh AS, bahkan Presiden Biden berjanji, pada tanggal 1 Mei mendatang semua warga Amerika punya peluang untuk memperoleh vaksinasi.
Program inokulasi vaksin antivirus corona umumnya membutuhkan dua kali suntikan, dengan perkecualian vaksin Johnson & Johnson yang cukup dilakukan satu kali.
Setelah suntikan pertama, apa efek samping suntikan awal ini?
Dr. Paul Offit, direktur Vaccine Education Center dan dokter di Division of Infectious Diseases di Children’s Hospital di Philadelphia menjelaskan, “Jadi kadang-kadang orang yang pertama kali memperoleh vaksin baik itu Moderna, Pfizer, atau Johnson & Johnson, mereka bisa menderita demam yang ringan. Sakit pada persendian, otot, sakit kepala, kadang-kadang sudah tentu sakit di tempat suntikan, rasa lesu. Dan itu biasanya lebih buruk setelah menerima suntikan kedua, khususnya di kalangan usia di bawah 65 tahun.”
Dr. Offit juga menjelaskan tentang imunitas atau kekebalan seseorang setelah menerima suntikan pertama.
“Vaksin pertama hanya memberi perlindungan sementara, tidak lengkap, dan kemungkinan tidak untuk waktu yang lama. Jadi, sekarang kita tahu dari data yang dikeluarkan oleh CDC, sampai 13 minggu setelah dosis pertama, sekitar 80% orang terlindung terhadap sakit simptomatik. Tetapi sekali lagi, itu hanya 13 minggu, dan kita sudah tahu pasti dosis kedua menimbulkan apa yang disebut kekebalan seluler yang kemungkinan akan memberikan perlindungan jangka panjang.”
Dokter Offit berpesan agar orang jangan beranggapan bahwa setelah program vaksinasi mereka selesai, mereka akan memiliki kekebalan 100%.
“Anda punya 95% peluang terlindung terhadap sakit simptomatik, Anda juga punya peluang tinggi terlindung dari infeksi a-simptomatik, tetapi itu tidak 100%. Tidak ada vaksin yang perlindungannya 100%,” tukasnya.
Yang diketahui oleh masyarakat medis saat ini, perlindungan 95% ini akan efektif selama beberapa bulan. Apakah perlindungan ini bertahan selama bertahun-tahun, masih belum disimpulkan dan harus diamati terus menerus.
Dr. Offit mengantisipasi bahwa virus COVID 19 masih akan bersama kita selama puluhan tahun ke depan. Dia mengingatkan, meskipun Amerika secara cepat mengupayakan semua penduduknya terinokulasi, dari 194 negara di dunia, 130 negara belum melakukan vaksinasi sama sekali.
Kembali ke Harun al-Jafar, yang sudah lebih dari setahun bekerja dari rumah, ia merasa bersyukur sudah memperoleh vaksinasi. Ia berterima kasih kepada pemerintahan Presiden Biden yang secara cepat meluncurkan program vaksinasi massal untuk seluruh warga Amerika. [jm/ka]
[ad_2]
Source link