Heuristika Hukum Prof Syarifuddin Ditanggapi Profesor Lain

oleh -11 views
Heuristika Hukum Prof Syarifuddin Ditanggapi Profesor Lain

“Menurut saya apa yang disampaikan oleh Ketua MA saat pengukuhan di Undip adalah sesuatu yang bagus. Ini justru menjadi sebuah tantangan bagi para hakim,”  kata Guru Besar Hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Zainal Arifin Husin.

Zainal Arifin Husin — Guru Besar Hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)

Gagasan Ketua Mahkamah Agung (MA), Muhammad Syarifuddin perihal pentingnya pendekatan heuristika hukum dalam sistem pemidanaan dapat mengatasi problematika penegakan hukum di Indonesia.

Kata Profesor Zainal, hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Tugas utamanya adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan semua perkara yang diajukan kepadanya. Sehingga, hakim tidak memiliki hak untuk melakukan penyelidikan pun penyidikan.

Kendati demikian, bukan berarti semua putusannya hanya berdasarkan pada teori-teori hukum yang sudah termaktub dalam undang-undang dan KUHP.

“Dalam menjatuhkan putusan, hakim juga harus menggali dari perspektif lain,” ujarnya di Jakarta, Senin, 16 Februari 2021.

Misalnya, telah terjadi pencurian di salah satu kota. Biasanya, dalam dakwaan, jaksa telah menentukan unsur-unsur pasal yang diterapkan kepada si pelaku. Kemudian, kalau terbukti, pelaku dihukum sekian tahun.

“Sejatinya penerapan hukum bukan sekedar itu tapi kenapa dia kok sampai mencuri? Karena secara nurani, tidak ada manusia hobi mencuri,  manusia selalu ingin berbuat baik. Tapi kenapa dia tiba-tiba mencuri,” katanya.

Singkatnya, hakim harus mengkaji terlebih dahulu baik secara antropologis pun sosiologis latar belakang dari kasus tersebut, sebelum akhirnya menjatuhkan putusan. Ini diperlukan agar terciptanya dinamika hukum di Indonesia. Sehingga bisa sejalan dengan perkembangan ekonomi, sosial dan budaya.

Menurut Zainal, pendekatan heuristika dalam pemidanaan juga dapat memperkuat kebijakan-kebijakan negara. Sebab, melalui teori ini, hakim memiliki keleluasaan dalam menganalisis sebuah peristiwa hukum.

“Dengan demikian, diharapkan dapat melahirkan putusan yang berpedoman pada kebenaran. Sehingga masyarakat terpacu untuk selalu menjunjung tinggi, nilai-nilai kebenaran,” ujarnya mewakili  kaum akademik yang disampaikan Prof Syarifuddin dalam penerapan Heuristika Dalam Proses Pemidanaan.

Hakim, hukum dan keadilan ibarat tritunggal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Hakim memegang peranan penting dalam menyeleraskan hukum dan keadilan tersebut.

Menafsirkan aturan, membentuk norma baru, mendorong gerak pembaruan  hukum adalah representasi proses kreatif dalam menerima  dan memutus perkara.

Menjatuhkan pidana merupakan kulminasi dari pergulat an nurani dan kerja kreatif dalam menerima dan memutus perkara.  Menjatuhkan pidana  merupakan kulminasi dari pergulatan nurani dan kerja kreatif.

Anak dari penjaga pintu kereta itu menjadi perbincangan di dunia hukum dan akademik pada umumnya, karena mencoba mengambil perspektif berbeda.

Menyebut hakim dalam menegakan hukum dan keadilan, dengan mencoba mengoreksi problematika atas ketidakadilan yang ditimbulkan oleh adanya dispatiras pemidanaan. Tanpa harus melukai indepensi hakim.

“Banyak ragam perkara dengan eskalasi dinamis. Kesemuanya menjadi landasan yang kukuh dalam mengemban setiap  aman dan memberi bekal pengalaman yang berharga,” ujar pria yang  pertama kali menjadi hakim di pengadilan Negeri Kutacane 1984.

Ribuan perkara ditangani.  36 tahun menjalani profesi sebagai hakim.  Untuk kemudian, Syarifuddin mengemban jabatan di ragam lingkungan pengadilan.

Pengalaman panjang itu membentuk pemahaman bahwa penegakan hukum sejatinya adalah seni dari perlakukan khusus dari aktor pelaksananya, yaitu hakim.

Kreasi dalam penegakan hukum menuntut padupadan yang selaras dan serasi dalam setiap elemen di dalamnya. Ketika seni menjadi perangkat kerja, khususnya bagi hakim untuk memberikan keadilan bijak.

Dalam praktik peradilan modern, Syarifuddin mencuatkan hal ini dimaksudkan untuk meminilmalkan disparitas dalam pemidanaan. Namun, tidak mengurangi kemandirian hakim.

“Ini merupakan pandangan pribadi saya terhadap pengalaman-pengalaman selama ini sebagai Hakim dan bukan mewakili pendapat resmi lembaga Mahkamah Agung,” ujar Prof Dr. HM Syarifuddin SH, MH.

Poinnya dalam upaya mewujudkan  keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Guru Besar Tidak Tetap di bidang Ilmu hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini menyadari bahwa paparan implementasi dari pendekatan heuristika hukum itu akan menjadi kontroversi.

Suami dari Hajah Budiutami ini menyebut pembaruan sistem pemidanaan dalam praktek peradilan modern.

“Hukum tidak boleh hanya fokus pada kebutuhan saat ini,” ujar Ketua MA Syarifuddin.

Terobosan diperlukan dalam mengatasi kendala. Juga mampu menunjukan menjawab tantangan ke depan. “Dalam upaya mewujudkan ius constituendum (hukum yang dicitakan),” tutur ayah dari Roshyidatus Syarifaini dan Amirul Mufti ini.

Alumnus Universitas Islam Indonesia (S1), Universitas Juanda (S2) dan Universitas Katholik Parahyangan (S3) itu pun  menyebut gagasan heuristika hukum sebagai sebuah pendekatan baru dalam memahami hukum, baik dalam formulasi (penormaan), penegakan, maupun pembaruan hukum.

HM Syarifuddin menyebut pendekatan barunya sebagai model heuristiska dalam memahami hukum. Dimana tujuan akhirnya adalah terwujudnya  keadilan substantif.

Sebab, masih menurut Syarifuddin,  untuk mewujudkan keadilan substantif adalah seni pemecahan masalah (law is an art of legal problem solving) .

“Kepada teman sejawat para hakim di seluruh Indonesia, janganlah hanya terpaku pada aturan normatifnya saja. Tetapi, haruslah berpikir secara holistik dan progresif, dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam  mewujudkan keadilan sejati,” ujar putra pasangan Damroh bin Karap dan Hj Aimah Binti Johir ini.

Pria kelahiran Baturaja 17 Oktober 1954 yang kini dikaruniai lima cucu itu komit untuk memberi mata kuliah Pembelajaran Praktik praktis Peradilan Modern.

“Junjunglah tinggi hak asasi manusia. Ketahuilah bahwa hukum itu adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum,” jelas Prof Dr H Muhammad Syarifuddin SH, MH mengingatkan.