Menanti Komitmen Indonesia Sebagai Tuan Rumah Konvensi Minamata

oleh -1 views
Menanti Komitmen Indonesia Sebagai Tuan Rumah Konvensi Minamata


Konvensi Minamata Mengenai Merkuri akan digelar di Jakarta pada 1-5 November 2021, dan di Bali pada 21-25 Maret 2022. Konvensi ini bertujuan untuk menyusun program kerja dalam membatasi, mengendalikan, dan menghapuskan penggunaan merkuri yang berbahaya bagi lingkungan maupun kehidupan manusia.

Masih maraknya perdagangan ilegal merkuri baik di bidang manufaktur, kesehatan, penambangan emas skala kecil, serta energi, menjadi fokus bahasan dalam konvensi ini, sebagai upaya untuk melindungi kesehatan manusia serta keselamatan lingkungan.

Gambar yang diambil di Kereng Pengi, Pontianak di Kalimantan Barat ini menunjukkan lokasi penambangan emas ilegal di mana para penambang menggunakan merkuri mencemari sungai dan tanah yang menyebabkan kerusakan lingkungan. (Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin)

Gambar yang diambil di Kereng Pengi, Pontianak di Kalimantan Barat ini menunjukkan lokasi penambangan emas ilegal di mana para penambang menggunakan merkuri mencemari sungai dan tanah yang menyebabkan kerusakan lingkungan. (Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin)

Muhsin Syihab, Staf Ahli Menteri Luar Negeri, Bidang Hubungan Antar Lembaga yang sekaligus Ketua Delegasi Republik Indonesia untuk Konvesi Minamata 2021, mengatakan perdagangan ilegal mercukuri menjadi ancaman bagi kesehatan, khususnya untuk anak-anak dan perempuan.

Peristiwa Minamata di Jepang pada sekitar 1950, mengakibatkan dampak kesehatan seperti cacat hingga kematian yang disebabkan pencemaran limbah merkuri yang tidak terkendali. Muhsin mengatakan Konvensi Minamata 2021 akan menjadi sarana bagi Indonesia dalam menginisiasi pengaturan perdagangan ilegal merkuri, hingga memunculkan kesadaran global mengenai bahaya merkuri.

Patung batu di tugu peringatan korban penyakit Minamata terlihat di Minamata, Prefektur Kumamoto, Jepang, 12 September 2017. (Foto: REUTERS/Kim Kyung-Hoon)

Patung batu di tugu peringatan korban penyakit Minamata terlihat di Minamata, Prefektur Kumamoto, Jepang, 12 September 2017. (Foto: REUTERS/Kim Kyung-Hoon)

“Kita ingin menciptakan sebuah legacy, bahwa di COP4 Minamata, Indonesia telah menginisiasi sebuah deklarasi yang terkait dengan pengaturan legal trade of mercury, atau memberantas perdagangan ilegal mercuri, dan itu diharapkan dapat mendorong awareness, kesadaran masyarakat untuk selalu menjaga dan juga menghindari penggunaan mercuri,” jelasnya.

Deklarasi Bali pada 2022, kata Muhsin, menjadi bentuk komitmen pemerintah Indonesia dalam mendukung pengurangan dan penghapusan penggunaan merkuri, yang pada akhirnya dengan bantuan teknologi, dapat menemukan alternatif yang lebih baik daripada penggunaan merkuri.

“Kita meratifikasi konvensi Minamata itu di tahun 2017 dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2017. Dan setelah ratifikasi itu, saya kira sudah ditindaklanjuti secara cepat oleh kawan-kawan di KLHK dengan menyusun Rencana Aksi Nasional, yang diturunkan dengan Perpres Nomor 21 Tahun 2019,” tambah Muhsin.

Pasien penyakit Minamata bawaan Shinobu Sakamoto, 61, berbicara kepada siswa sekolah menengah tentang penyakit Minamata di Minamata, Prefektur Kumamoto, Jepang, 14 September 2017. (Foto: REUTERS/Kim Kyung-Hoon)

Pasien penyakit Minamata bawaan Shinobu Sakamoto, 61, berbicara kepada siswa sekolah menengah tentang penyakit Minamata di Minamata, Prefektur Kumamoto, Jepang, 14 September 2017. (Foto: REUTERS/Kim Kyung-Hoon)

Pemerintah Perluas Edukasi Bahaya Merkuri

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya Beracun (B3), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan penambangan emas skala kecil di dunia internasional masih menjadi masalah, karena banyak yang masih menggunakan mercuri untuk menambang emasnya.

Hal ini menurut Rosa Vivien, juga menjadi tantangan dalam pengendalian penggunaan merkuri di Indonesia. Meski demikian, pemerintah kata Rosa Vivien, terus melakukan upaya edukasi serta sosialisasi mengenai bahaya merkuri kepada masyarakat, sebagai bagian dari komitmen pengurangan dan penghapusan pemakaian merkuri.

“Tantangan yang terbesar itu ya penambangan emas skala kecil. Kalau seperti energi, manufaktur, itu kita bisa approach kepada industri, dan menggunakan teknologi. Tetapi yang menjadi persoalan adalah penambangan emas skala kecil yang terkait dengan masyarakat, apalagi mereka berada di remote area, tahunya adalah menambang emas. Nah itu memang kita melakukan sosialisasi yang pertama, bahayanya penggunaan mercuri,” ujarnya.

Komitmen Indonesia dalam mengurangi dan menghapuskan penggunaan merkuri ditunjukkan dalam data yang dimiliki KLHK. Pada 2019 dan 2020, KLHK menyebut terdapat pengurangan penggunaan merkuri pada industri baterai, industri lampu, peralatan kesehatan, serta pelarangan penggunaan merkuri pada penambangan emas skala kecil. Pencemaran lingkungan oleh merkuri, kata Rosa Vivien, juga berakibat pada masalah kesehatan yang dialami manusia.

Operasi penambangan emas ilegal di sebuah sungai di Kalimantan Selatan di mana penambang menggunakan merkuri yang mencemari sungai dan tanah yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan kesehatan. (Foto: AFP/Romeo Gacad)

Operasi penambangan emas ilegal di sebuah sungai di Kalimantan Selatan di mana penambang menggunakan merkuri yang mencemari sungai dan tanah yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan kesehatan. (Foto: AFP/Romeo Gacad)

Rosa Vivien menambahkan, “Dampaknya adalah, memang kalau pencemaran itu di media air, media tanah, media udara. Nah, yang jadi persoalan kalau mercuri itu masuk ke dalam rantai makanan. Jadi, kalau ke air misalnya ikan kecil dimakan ikan besar, ikannya kita tangkap terus kita makan, itu yang masuk ke manusia itu yang berbahaya sekali.”

Pertegas Regulasi

Ketua Umum Koalisi Kawali Indonesia Lestari, Puput TD Putra, mengatakan pemerintah perlu bersikap tegas dalam pengaturan regulasi maupun penegakan hukum terkait perdagangan ilegal merkuri. Meski mengapresiasi komitmen pemerintah dalam pengurangan, pengendalian dan penghapusan merkuri, Puput TD Putra mengatakan, masih maraknya praktik jual beli merkuri di area sekitar pertambangan rakyat menjadi bukti belum cukup kuatnya upaya pemerintah menyelamatkan lingkungan dari bahaya merkuri.

“Tanpa online pun mereka bisa mendapatkan di warung-warung yang memang ada di area pertambangan rakyat ilegal itu. Mereka jual malah eceran, dari per setengah kilogram, atau per satu liter, setengah liter itu ada, per seperempat ada. Tanpa online pun mereka bisa, menjual dan bisa mendapatkan. Saya tidak tahu ini asalnya dari mana, yang pasti itu terjadi di daerah-daerah pertambangan ilegal ini, tambang rakyat khususnya. Biasanya polanya penjual mercuri ini juga mungkin menampung hasil tambangnya,” ujarnya. [pr/em]



Source link