Lima Hari Untuk Satu Buku

oleh -52 views
Lima Hari Untuk Satu Buku

Oleh: Wina Armada Sukardi SH

Inilah buku hukum dan pers tercepat yang pernah saya tulis. Untuk 237 halaman, di luar kata pengantar, daftar isi dan data buku, saya tulis dan tuntaskan dalam waktu 5 (lima) hari.

Kemudian, editing saya serahkan kepada orang lain dan percetakan. Dari beberapa opsi cover buku, sudah dipilih. Kini buku sedang dalam proses mau naik cetak.

Ini bermula ketika medio Juni lalu Dewan Pers mengadakan Pelatihan Ahli Dewan Pers. Sebagian peserta rata-rata kembali meminta kepada Dewan Pers menyediakan buku putih atau buku rujukan.

Nah untuk pelatihan berikutnya, yang semula direncanakan akhir Juli atau awal Agustus ini, Dewan Pers berupaya sudah menyediakan buku yang dimaksud.

Maka proses pembuatan buku perlu “dikebut” agar sempat dapat dibagikan dalam pelatihan itu. Jadilah saya, yang diserahkan tugas menulis buku itu, dalan tekanan yang lumayan tinggi, dan diselingi selalu bermain dengan cucu kembar, mengerjakannya siang malam.

Dan, hap, dalam lima hari selesai. Tentu tanpa mengurangi mutunya ( ehem !).

Kalau diurut lebih jauh lagi, perlu saya jelaskan, sejak pertama kali ikut merancang dan menjadi instruktur Pelatihan Ahli Pers di Batam Tahun 2010, para peserta selalu memita kalaulah boleh disediakan “buku putih” atau buku pedoman untuk Ahli Dewan Pers.

Selama ini pula, saya kurang merespon permintaan semacam itu. Saya sempat berpikir, jangan-jangan “buku putih” seperti itu hanya akan membuat Calon Ahli Dewan justru menjadi tumpul pikirannya.

Mereka tidak mau terus belajar dan mengikuti perkembangan karena mengandalkan “buku putih” atau buku pedoman itu. Ada masalah sedikit saja, akan balik ke “buku putih” yang tersedia.

Selain itu saya me- nilai, setiap Ahli Dewan Pers kemungkinan memiliki karakteristik masing-masing, yang berbeda satu dengan lainnya, sehingga tidak diperlukan “buku putih” yang dapat menjerumuskan kebersamaan pola para Ahli Dewan Pers.

Oleh sebab itu, sejak awal saya tidak begitu antusias merespon atau memberi tanggapan terhadap permintaan itu.

Pikiran saya mulai berubah setelah lebih dari sepuuh Tahun pelatihan Ahli Dewan Pers diadakan, tetap saja muncul permintaan adanya buku putih semacam itu.

Setelah saya berpuluh kali menjadi ahli, saya memang merasakan tidak mudah menjadi ahli di pengadilan, khususnya Ahli dari Dewan Pers.

Pertama, menjadi ahli apapun di pengadilan, ternyata membutuhkan ketangguhan mental, di samp- ing memiliki ilmu pengetahuan di bidangnya masing-masing.

Pengalaman saya menjadi Ahli Dewan Pers menunjukkan, tidak sedikit advokat, jaksa dan bahkan hakim sejak awal bersikap tidak begitu ramah terhadap ahli. Apalagi penegak hukum yang berada pada posisi berlawanan dengan keterangan yang diberikan ahli.

Seringkali mereka langsung atau tidak langsung “menekan” ahli dengan sejumlah pertanyaan dan sikap. Mereka tak segan menilai sebenarnya ahli tak punya kapasitas tampil sebagai ahli, sehingga membuat ahli tidak konsentrasi lagi.

Dalam keadaan demikian, ahli dapat menjadi grogi dan tidak fokus pada jawaban-jawabannya. Disitulah mereka “menerkam” ahli yang menyebabkan jawaban ahli semakin tidak konsentrasi dan pada akhirnya dapat memberikan jawaban yang fatal.

Keadaan tersebut bertambah parah, karena belum banyak ahli di bidang hukum pers. Baik advokat, jaksa maupun hakim masih banyak yang tidak mengerti mengenai hukum pers.

Untuk itu pertanyaan-pertanyaan yang diajukanpun sering tidak relevan dan membuat posisi Ahli dari Dewan Pers rentan terhadap kemungkinan tidak fokus dan tidak berhasil memberikan keterangan yang dibutuhkan.

Bukan karena tidak memahami masalahnya, tetapi lebih karena penampilan yang bermalah.

Selain itu saya juga merasa, tidaklah mudah menjadi Ahli Dewan Pers yang dapat tampil optimal di hadapan penegak hukum, terutama di pengadilan. Dibutuhkan pengetahuan yang mendalam dan rinci di bidang pers, ditambah pengetahuan yang tidak kurang menyakinkannya untuk semua kasus yang terkait dengan pers.

Pengalaman saya sekitar 40 Tahun sebagai wartawan dan sekaligus bergerak di bidang hukum, terutama hukum pers, membuat saya relatif lebih mudah menguasai gabungan kedua bidang yang saya geluti bersama puluhan tahun ini.

Apalagi kemudian saya sendiri “ditempa” dengan pengalaman sebagai Ahli Dewan Pers cukup lama.
Berbeda dengan mereka yang hanya menguasai salah satu bidang saja: hukum saja, atau jurnalistik saja.

Untuk yang menguasai hukum saja, tentu harus dipompa lagi pengetahuannya mengenai pers. “Roh” pers harus lebih banyak dimasukan ke dalam diri mereka.

Sebaliknya yang bergelut di bidang pers saja, harus terus diperkaya pengetahuan bidang hukum. Kepada mereka harus terus menerus ditanamkan berbagai pemikiran dan dasar-dasar hukum agar pengetahuan

Ada juga sebenarnya yang berlatar belakang pers sekaligus hukum, tetapi hukumnya tidak dimulai dari dasar. Pada kasus-kasus demikian basis pengetahuan dasar dan penguasaan terhadap asas-asas, doktrin dan filsafat hukumnya masih belum ajeg.

Padahal seringkali untuk muncul sebagai ahli di pengadilan pengetahuan mengenai dasar-dasar dan asas-asas hukum tersebut sangat diperlukan.

Dalam keadaan seperti itu memang bagi seorang Ahli Dewan Pers memerlu- kan semacam “pedoman” atau “buku rujukan.”

Katakanlah semacam buku putih yang dapat menjadi tempat mereka mencari refrensi secara cepat dan sistematis. Dari sanalah saya akhirnya bersedia untuk menulis buku “Menjadi Ahli Dewan Pers Sebuah Buku Rujukan” yang dapat dijadikan semacam “buku putih” Ahli Dewan Pers.

Dengan adanya buku ini saya berharap para Ahli Dewan Pers atau calon Ahli Dewan Pers dapat lebih menguasai diri di depan sidang peradilan, sekaligus dapat lebih menguasai pengutaraan ilmu yang dimilikinya.

Dengan kata lain, buku ini diharapkan membantu meningkatkan kualitas Ahli Dewan Pers.

Sebagai “buku rujukan” atau “buku putih’ sengaja buku ini dirancang untuk keperluan praktis.
Dari buku ini para calon dan Ahli Dewan Pers dapat segera memperoleh dasar-dasar jawaban dalam menjalankan tugas. Hanya khusus pada bagian penda- huluan dibuat berbeda, karena menjadi landasan ilmiah soal Ahli.

Boleh jadi karena telah berpengalaman sebagai Ahli dari Dewan Pers di sebagian pengadilan Indonesia, dan ditambah seringnya saya memberikan pelatihan, ceramah atau menjadi pembicaraan mengenai hukum pers, sehingga saya relatif “hafal’ di luar kepala material apa yang dibutuhkan oleh Ahli Dewan Pers.

Maka proses penulisan buku ini hanya membutuhkan waktu 5 hari saja.

#Winaarmada