SP3 Syamsul Nursalim Dimungkinkan oleh Hukum, Tetapi Tidak Tepat?

oleh -7 views


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus BLBI yang menjerat Sjamsul Nursalim, meski sesuai UU KPK yang baru, keputusan ini dinilai keliru.

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) akan mengajukan gugatan praperadilan terhadap keputusan KPK tersebut. Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, akan mendaftarkan gugatan itu pada 30 April mendatang, meski dia mengaku saat ini semua materi yang diperlukan sudah cukup. Kasus BLBI bukan perkara baru bagi Boyamin. Pada tahun 2008, dia telah memenangkan gugatan praperadilan melawan Jaksa Agung dalam kasus BLBI, juga dengan tersangka Sjamsul Nursalim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

“Alasannya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah pengembalian kerugian negara, tidak menghapus pidana. Artinya, mesti ada Surat Keterangan Lunas (SKL), tetapi proses pengajuan, proses memperoleh BLBI, penggunaan BLBI, patut diduga ada dugaan tindak pidana korupsi sehingga harus diproses ke pengadilan, tidak boleh di SP3,” kata Boyamin

Para pengunjuk rasa menampilkan spanduk yang memperlihatkan Sjamsul Nursalim (kiri) dan Anthony Salim (kanan) - dua orang terkaya di Indonesia yang dituduh menggelapkan jutaan dolar melalui BLBI selama krisis Asia pada 1998, Jakarta, 22 Juli 2008. (Foto:

Para pengunjuk rasa menampilkan spanduk yang memperlihatkan Sjamsul Nursalim (kiri) dan Anthony Salim (kanan) – dua orang terkaya di Indonesia yang dituduh menggelapkan jutaan dolar melalui BLBI selama krisis Asia pada 1998, Jakarta, 22 Juli 2008. (Foto:

Dia memaparkan itu dalam diskusi terkait kasus ini di Pusat Studi Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sabtu (10/4).

Boyamin menyebut, Indonesia mewarisi sistem hukum Kontinental Belanda, yang tidak mengatur sistem yurisprudensi. Artinya, kata dia, putusan pengadilan kepada seseorang tidak bisa dipakai untuk putusan bagi orang lain. Prinsip ini juga berlaku dalam penerbitan SP3. Konsep ini adalah sebagian yang akan dia ajukan sebagai materi dalam gugatan praperadilan terhadap putusan KPK.

Boyamin mengaku memiliki sudut pandang berbeda dengan KPK terkait kasus ini. Sebagai aktivis hukum, kata Boyamin, dirinya mengaitkan proses dugaan korupsi pada waktu sebelum, selama dan sesudah penerbitan BLBI. Sedangkan KPK selama ini hanya fokus terkait SKL. Padahal, KPK harus menganggap SKL itu sebagai abal-abal, karena memang nyatanya belum lunas, sehingga ada tindak pidana korupsi di dalamnya.

“Sebenarnya saya sejak awal mengkritik, kenapa sisi ini saja yang diurus. Mestinya yang diurus yang lebih besar lagi. Bahwa pengembalian kerugian negara, lunas tidak lunas, itu tetap menjadi tindak pidana korupsi, dan dibawa ke pengadilan,” ujarnya.

Dukungan bagi Upaya Praperadilan

Kurnia Ramadhana dari Indonesian Corruption Watch (ICW) mendukung pengajuan praperadilan terhadap SP3 dari KPK ini.

“Hal ini penting untuk membatalkan proses hukum SP3 yang dikeluarkan oleh KPK. Karena di pasal 40 ayat 4 (UU KPK-red), ada dua cara membatalkan SP3 di KPK, yang pertama praperadilan, yang kedua penyidik menemukan bukti baru untuk menjerat kembali yang bersangkutan,” kata Kurnia.

Selain itu, ada pula upaya yang bisa dilakukan oleh negara. Menurut pasal 32 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada celah menggunakan gugatan perdata.

Kurnia Ramadhana. (Foto courtesy: pribadi)

Kurnia Ramadhana. (Foto courtesy: pribadi)

“Tatkala ada kerugian keuangan negara, penyidik melimpahkan berkas ke jaksa pengacara negara. Lalu, jaksa pengacara negara bersama kementerian keuangan, menggugat Syamsul Nursalim di persidangan perdata,” tambah Kurnia.

Sebenarnya ada sejumlah peraturan penting pada masa lalu yang seharusnya bisa dipakai dalam melihat kasus ini. Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) di era Menteri Kwik Kian tahun 2002 menegaskan bahwa bila jumlah aset yang diserahkan penerima BLBI tidak cukup untuk menyelesaikan jumlah utang, maka akan dilakukan penghapusbukuan, akan tetapi ada syaratnya yaitu tidak terdapat ketidakwajaran.

Selain itu, kata Kurnia, ada pula keputusan KKSK yang menyatakan bahwa jika ditemukan adanya hal-hal yang tidak sewajarnya, maka kepada pemegang saham saat ini dan sebelumnya, harus ikut bertanggung jawab secara hukum.

Presiden Megawati juga pernah mengeluarkan instruksi pada 2002, yang menyebutkan bahwa jika debitur menyelesaikan kewajiban akan diberikan kepastian hukum, berupa surat adminitrasi yang menyatakan lunas. Namun, jika tidak menyelesaikan, maka menjadi kewajiban BPPN untuk terus melakukan penagihan dan bahkan mengambil tindakan hukum.

SP3 Wajar dalam Sistem

Pakar hukum pidana dari UII Yogyakarta, Muhammad Arif Setiawan, menyebut apa yang terjadi saat ini menjadi bukti dari kekhawatiran banyak pihak ketika dilakukan perubahan UU KPK. Munculnya pasal 40 UU No 19 tahun 2019 tentang KPK, memberi jalan lembaga ini menerbitkan SP3. Sesuatu yang menjadi hal tabu bagi lembaga antirasuah tersebut sejak berdirinya.

Namun, Arif mengaku memiliki sudut pandang berbeda terkait pemberian wewenang menerbitkan SP3 bagi KPK.

Seorang pengunjuk rasa berdiri di samping sebuah plakat yang menggambarkan Sjamsul Nursalim, Anthony Salim dan ayahnya Sudono Salim -beberapa konglomerat Indonesia yang memiliki hubungan dekat dengan mendiang mantan presiden Suharto, selama protes di luar

Seorang pengunjuk rasa berdiri di samping sebuah plakat yang menggambarkan Sjamsul Nursalim, Anthony Salim dan ayahnya Sudono Salim -beberapa konglomerat Indonesia yang memiliki hubungan dekat dengan mendiang mantan presiden Suharto, selama protes di luar

“Sebagai pengajar hukum acara pidana, yang namanya SP3 itu kalau dalam sistem peradilan pidana itu screening system. Kita harus melihat bahwa tidak semua perkara yang masuk ke dalam sistem, harus keluar dalam bentuk putusan pemenjaraan atau pemidanaan, atau kebersalahan, apapun istilahnya,” ujar Arif.

Penghentian penyidikan di tingkat preajudikasi, ujarnya, adalah bagian dari screening system tersebut. Dalam kasus berbeda, screening system juga diperlukan agar lembaga pemasyarakatan tidak penuh, dan aparat hukum tidak harus menangani perkara-perkara kecil.

Dalam kasus SP3 yang dikeluarkan KPK ini, wacana menjadi menarik karena lembaga ini sebelumnya tidak diberi kekuasaan terkait hal itu.

“Terkait SP3, saya melihat satu hal yang wajar ada di dalam sistem, termasuk kalau pada KPK pun SP3 perlu juga diberikan. Hanya usulan perubahannya, tidak sepeti yang dibikin oleh UU KPK saat ini,” tambah Arif.

Dalam UU yang baru, yang menjadi pusat perhatian adalah soal waktu. KPK bisa menerbitkan SP3 jika dalam waktu dua tahun sejak penetapan seseorang sebagai tersangka, penyidikan atau penuntutannya tidak dapat diselesaikan. Penetapan waktu ini membuka celah, bagi kasus yang diharapkan akan di SP3, bisa saja penyidik mengulur waktu hingga memenuhi syarat dua tahun itu.

Meski menilai SP3 oleh KPK sebagai konsekuensi dari sistem hukum pidana, Arif tetap mendukung pihak-pihak yang akan mengajukan gugatan praperadilan terhadap hal itu.

KPK sendiri telah menerbitkan SP3 kasus dugaan korupsi BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim. Keduanya dinilai merugikan negara Rp4,58 triliun. Alasan KPK, kasus ini satu paket dengan perkara eks Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Tumenggung. Mahkamah Agung sendiri telah menjatuhkan vonis yang membebaskan Tumenggung. [ns/ab]



Source link