Maka bagaimana bisa mengaitkan dengan MA atau orang MA kalau permintaan fatwa itu sendiri tidak ada.” — Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro
KORAN PRIORITAS –Ketika Kejagung menyebut Jaksa Pinangki diduga menerima suap dari Djoko Tjandra, untuk mengurus fatwa ke Mahkamah Agung (MA) terkait kasus yang menjerat pria yang dijuluki Joker itu.
Diduga Pinangki mencoba melobi pejabat di MA tetapi upaya tersebut gagal dan diduga rencana fatwa pengurusan MA tersebut batal.
Oleh karena pengurusan fatwa di MA tidak berlanjut, diduga Djoko Tjandra memilih strategi lain untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di PN Jakarta Selatan.
Setelah itu diduga jaksa Pinangki dan Anita Kolopaking pecah kongsi lantaran adanya uang yang direalisasikan Djoko Tjandra lebih sedikit daripada yang dijanjikan.
Diketahui, pada prosesnya pengajuan PK Djoko Tjandra di PN Jaksel tidak diterima.
Selain itu sejumlah pejabat juga turut terseret skandal pelarian Djoko Tjandra yang awalnya disebut hadir langsung mendaftarkan diri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan membuat e-KTP di Kelurahan Grogol Selatan padahal masih berstatus sebagai buronan.
Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan Jaksa Pinangki sebagai tersangka.
Ia juga telah ditahan selama 20 hari pertama, terhitung sejak 12 Agustus 2020. Jaksa Pinangki disebut-sebut telah menerima suap sebesar US$ 500 ribu atau sekitar Rp 7,4 miliar.
Penyidik pun menjerat Jaksa Pinangki dengan Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 12 a dan b UU 20/2001 Tipikor. Namun, belakangan, penyidik bakal menambah pasal sangkaan kepada Jaksa Pinangki.
Terhadap hal ini jubir MA Andi Samsan Nganro menegaskan pihaknya tidak pernah menerima surat permintaan fatwa dari siapapun terkait perkara Djoko Tjandra.
“Setelah kami cek untuk memastikan apakah benar ada permintaan fatwa hukum ke MA terkait perkara Djoko S Tjandra, ternyata permintaan fatwa itu tidak ada,” ujarnya, Kamis (27/8).
Andi menuturkan, MA memang berwenang memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum. Itu dapat dilakukan baik diminta maupun tidak. Jika tidak diminta, MA hanya berwenang menyampaikan pertimbangannya hanya kepada lembaga tinggi negara.
“Jadi tentu ada surat permintaan resmi dari lembaga atau instansi yang berkepentingan kepada MA. Oleh karena itu MA tidak sembarangan mengeluarkan apakah itu namanya fatwa ataukah pendapat hukum,” katanya.
Maka bagaimana bisa mengaitkan dengan MA atau orang MA kalau permintaan fatwa itu sendiri tidak ada,” kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro dalam keterangannya.