[ad_1]
Survei yang dilakukan London School of Public Relation (LSPR) tahun 2020 menyebut aktivitas daring membuat anak-anak lebih mudah melihat iklan rokok. Deputi Menteri Koordinator Pembangunan Masyarakat dan Kebudayaan, drg. Agus Suprapto, M.Kes, mengutip hasil penelitian itu untuk menyadarkan masyarakat dampak aktivitas daring terhadap kemungkinan anak menjadi perokok.
“Terpaan iklan rokok melalui media online memlliki kekuatan hubungan dengan perilaku merokok. Setelah melihat iklan merokok di media online, dapat disimpulkan bahwa 100 persen ramaja yang merokok akan tetap merokok, dan 10 persen remaja memiliki kecenderungan untuk merokok setelah melihat iklan rokok di media online,” papar Agus, dalam diskusi yang diselenggarakan Muhammadiyah Tobacco Control Network (MTCN) , Sabtu (27/11).
Sebagai konsekuensi pandemi COVID-19, 44 juta pelajar sekolah dasar dan menengah di Indonesia harus melakukan pembelajaran daring. Tentu saja, di luar pembelajaran sekolah, anak-anak dan remaja juga menikmati konten-konten hiburan. Dari aktivitas inilah, iklan rokok dilihat oleh mereka. LSPR sendiri meyakini, pengaruh iklan rokok melalui media daring terhadap perilaku remaja sangat tinggi.
Agus juga menambahkan, data yang dimiliki kementerian menyebut konsumsi rokok di masa pandemi justru sangat besar. Tren itu terus meningkat sejak pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat.
Data Nasional Mengkhawatirkan
Kemenko PMK, lanjut Agus, terlibat dalam survei organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) terkait Global Youth Tobacco Survey. Dia memaparkan sejumlah data yang harus menjadi perhatian seluruh pihak.
“Untuk pelajar saja, 18,8 persen pelajar usia 13 sampai 15 tahun merokok, dan 57,8 persen pelajar usia 13-15 tahun terpapar asap rokok. Lalu, 60,6 persen pelajar tidak dicegah ketika membeli rokok,” kata Agus.
Data dari survei ini juga menyebut 56 persen pelajar melihat orang membeli rokok dan merokok. Sementara 15,7 persen belajar merokok, dengan melihat iklan rokok elektrik di internet. Sedangkan 41,5 persen pelajar usia tersebut mengetahui rokok elektrik dari teman-temannya.
Pemerintah melakukan sejumlah upaya, baik melalui kebijakan fiskal maupun non-fiskal. Kebijakan fiskal yang diterapkan antara lain penyusunan tarif cukai dengan menjaga afordabilitas harga, agar tidak tejangkau perokok pemula. Dilakukan juga penyederhanaan struktur tarif dan kebijakan mitigasi. Kebijakan mitigasi diteapkan dengan ketentuan, 50 persen Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), digunakan untuk program kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan non-fiskal antara lain mengembangkan lingkungan sehat dan pelaksanaan regulasi kawasan tanpa rokok di daerah. Layanan berhenti merokok juga diperluas, dengan target 40 persen Faskes tingkat satu di 300 kabupaten/kota. Pemerintah juga memastikan Bansos tidak digunakan untuk membeli rokok.
Aktivitas Daring dan Terpaan Rokok
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang, Dr Frida Kusumastuti, menyebut aktivitas daring anak-anak di Indonesia sangat tinggi.
“Per hari, anak-anak itu mengakses 7-12 jam, melebihi jam belajarnya, melebihi jam tidurnya. Mereka akan terpapar disitu. Pikirannya akan terhegemoni terus oleh pesan-pesan tembakau ini,” kata Frida dalam diskusi tersebut.
Mengutip data hasil penelitian pada 2018, kata Frida, sekitar 80 persen terpaan iklan rokok pada anak-anak terjadi melalui konten Youtube. Sedangkan situs-situs umum menyumbang 58 persen terpaan, Instagram menyusul dengan 57 persen dan game daring ada di posisi empat dengan 36 persen. Youtube, Instagram dan game daring adalah salah satu pusat aktivitas anak-anak selama pandemi ini.
“Dari data Atlas Tembakau Indonesia 2020, perokok anak itu ada 7,6 juta. Itu 9,1 persen keseluruhan perokok yang ada di Indonesia. Setiap lima anak Indonesia, itu ada dua perokok dan tiga perokok pasif,” lanjut Frida.
Jumlah 7,6 juta perokok anak itu sangat besar, karena lebih banyak dari 2 kali lipat jumlah penduduk DI Yogyakarta. Atau, kata Frida lagi, lebih dari 2,5 kalinya penduduk Surabaya. Tanpa penanganan serius, jumlah perokok anak di Indonesia akan terus meningkat dengan proyeksi sekitar 2,1 persen setiap tahunnya.
Frida mengkritisi bagaimana bebasnya konten-konten terkait rokok di media sosial. Di Youtube dan Instagram, mudah ditemukan konten merokok dengan melibatkan pemengaruh (influencer). Konten-konten ini menggambarkan bagaimana rokok digambarkan sebagai bagian dari gaya hidup remaja.
“Videonya bagus, tetapi kontennya mendorong anak-anak dan remaja ini untuk menikmati vape atau rokok elektronik,” papar Frida.
Konten media sosial perlu memperoleh perhatian, karena WHO menyebut 36 persen anak dipicu merokok karena konten-konten tersebut. Pemicu merokok yang lain, pada kisaran 65 persen disebabkan oleh iklan rokok luar ruang, iklan rokok televisi, atau berada di ruang publik bersama perokok. Sementara 57 persen dipicu keberadaan anggota keluarga yang merokok.
Tradisi Jadi Kendala
Faktor tradisi juga menjadi tantangan dalam upaya menekan perokok di kalangan anak dan remaja. Sahrul, dosen di Universitas Muhammadiyah Mataram, Nusa Tenggara Barat, dalam diskusi ini memaparkan bagaimana sulitnya mengajak anak dan remaja Lombok berhenti merokok.
“Tidak saja dinikmati oleh generasi tua, atau dewasa, kadang kala di sini yang miris, karena ini diproduksi secara home industry, di situ masih pada tataran anak-anak umur 18 tahun ke bawah juga kadang mengonsumsi rokok-rokok yang diproduksi sendiri,” ujar Sahrul.
Lombok adalah salah satu daerah penghasil tembakau terbaik di Indonesia. Karena itu sejak lama, kata Sahrul, masyarakat sudah menikmati penggunaan tembakau melalui rokok. Bukan hanya rokok produksi pabrik, tradisi melinting rokok juga luas dipraktikkan. Anak-anak dan remaja kemudian akrab dengan tradisi ini karena dilakukan orang tua mereka di rumah. Mereka bisa melinting sendiri, dan kemudian ikut menikmati rokok tersebut.
“Untuk memberikan edukasi kesitu menjadi sangat terbatas, karena masyarakat begitu leluasa untuk memproduksi sendiri,” ujar Sahrul.
Perubahan Pola Pendekatan
Dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta Nurul Kodriati menekankan perlunya perubahan pendekatan terkait narasi rokok di masyarakat. Rokok tidak lagi digambarkan sebagai simbol maskulinitas sehingga mendorong anak-anak dan remaja ikut menikmatinya.
Selain itu, Nurul juga merekomendasikan program kampanye berhenti merokok yang berbeda. Dia memberi contoh, program berhenti merokok juga harus diintegrasikan dengan peningkatan ketrampilan hidup, terutama untuk laki-laki.
“Seperti koping terhadap stress yang positif seperti apa. Kemampuan bersosialisasi yang bagus seperti apa. Sehingga ketika sesama laki-laki berkumpul, mereka tidak membutuhkan rokok untuk memulai pembicaraan,” kata Nurul.
Nurul juga merekomendasikan penggunaan pesan positif yang sesuai dengan tahap perkembangan laki-laki, mulai dari anak-anak, remaja, dan ketika menjadi orang tua baru. Selain itu, toleransi perilaku merokok pada laki-laki juga harus ditekan. Sehingga orang tua tidak toleran, melihat anak remajanya mulai merokok, karena menilai itu sebagai tindakan yang wajar.
Kampanye berhenti merokok di kalangan orang tua juga harus diubah. Ayah yang mampu berhenti merokok harus digambarkan sebagai ayah sholeh yang melindungianak dan keluarganya dari bahaya merokok.
Rekomendasi MTCN
Berbarengan dengan Hari Kesehatan Nasional 2021, Muhammadiyah Tobacco Control Network juga mengeluarkan beberapa rekomendasi terkait pengendalian konsumsi rokok. Pertama, MTCN berharap ada penegasan larangan total iklan, promosi dan sponsor rokok di seluruh media baik media cetak, media luar ruang, media daring maupun konten media digital. MTCN mendukung presiden segera mengesahkan revisi PP 109 tahun 2012 dan konsisten menaikan cukai rokok sebagai langkah nyata perlindungan bagi anak Indonesia dari bahaya rokok.
MTCN juga meminta ada penambahan pasal pelarangan total Iklan dan promosi rokok di Pergub, Perda, dan Perwali/Perbup tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Keempat, mereka pemerintah juga bisa memasukkan penurunan jumlah perokok anak sebagai indikator penilaian Kota Ramah Anak.
Kelima, memasukkan penegakkan Perda KTR sebagai evaluasi keberhasilan daerah. Keenam, menghubungkan dampak pengendalian tembakau terhadap kondisi kesehatan dan integrasi layanan berhenti merokok terhadap perokok. Ketujuh, mengembangkan sikap strategis dalam intervensi penanggulangan terhadap kelompok prevalensi perokok terbesar yaitu laki-laki dan anak-anak. Kedelapan, penurunan prevalensi merokok berbasis perilaku. [ns/ah]
[ad_2]
Source link